Nostalgia Flobamora III oleh Gerson Pyok

 Gambar Keluarga: Nostalgia Flobamora III oleh Gerson Pyok

 begini kuda tunggang dan dadaku diterik tangis padang/lewat jalan liku menuju rumah lalang berpagar batu bila dulu aku datang aku tak tahu ciumanmu tengik tersaar/bibirmu yang hambar memperdengarkan tambur gembala/pandanganmu mengharu usia dewasa sejak itu mengobar/dalam mataku bundar segar seorang anak yang belum sadar kau tinggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning/tak sampai sesiang yang indah berenang riang/dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap airnya makin kering mengabur ke bibir nasib kemarau/aku pulang ke rumah lalang berpagar bagu, lingkar kasih yang buntu/nyenyak malam membenam dalam lapar dalam lupa masa kanak kelakar, dan sindiran yang menyembur senja kemarau kuning/sebagai tuntutan atas budi yang tumbuh menjadi hutan/belum terbayar oleh anak yang lapar mengejar belalang/hingga sekali kelak aku berdiri di atas nyanyian hidup yang manis kau datang kembali dengan bawaan beserba/untung aku belum lesu terpenggal oleh dosa dan hilang sesal

 Sajak ini kutulis ketika pengalaman masa kecil sudah mengendap jauh dalam jiwaku. Masa kecilku telah berubah menjadi puisi. Masa kecilku adalah kuda tunggang, tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang (dan daun lontar) berpagar batu.

 Akan tetapi terasa oleh si kecil itu (si aku puitis itu) bahwa pandangan yang mengharukan dia di masa dewasa nanti telah bertumbuh, telah mengobar dalam mata seorang anak kecil yang belum sadar akan segi-segi hambar dalam kehidupannya. Ayahku (kau) telah meninggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning, hanya sebentar berenang riang dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap. Air di kolam tempat aku bermain makin kering, mengabur ke bibir nasib kemarau lalu aku pun pulang ke rumah lalang berpagar batu, lingkar kasih yang buntu, lalu tidur dalam lapar dalam lupa masa kanak. Bagaimana pun, kehidupan ini penuh dengan kelakar dan sindiran dan ini merupakan hutang budi yang belum bisa dibayar oleh seorang anak kecil yang lapar mengejar belalang. Kelak semuanya akan terbayar bila telah sampai pada nyanyian hidup yang manis.Ayahku datang dengan bawaan beserba. Beruntunglah, aku belum terkapar…

 Begitulah tafsiran atar sajak yang ditulis sekitar tiga puluhlima tahun yang lalu. Di tahun 1997, aku pernah ke Rote dan mencari kolam kemarau kuning itu. Rumah lalang berpagar batu pun kudatangi. Hanya pagar batunya yang masih tersisa. Batu datar di pintu itu membari bayangan adikku perempuan yang bermain mengupas biji kesambi untuk dijadikan pelita. Adikku sangat berbakat matematika. Otak kirinya bagus. Ia pintar berhitung. Aku masih ingat ia mengatur biji-biji kesambi itu menurut kelompok-kelompok yang belum dikupas, isi yang telah dikupas dan kulit biji. Semuanya ditumpuk rapi. Ia sudah bisa berpikir kategoris.

 Memang dalam keluarga ibuku ada bakat-bakat matematika dan musik. Saudara misanku Jusuf Manu seorang guru yang cerdas. Dialah yang sering mengirimwesel kepada Adrianus Mooy karena ibu Jusuf adalah mama kecil Adri (adik perempuan ayah Adri). Seperti sudah aku katakan, Eduard Pah, mendapat Anugrah Seni dari Pemerintah RepublikIndonesia untuk musik. Ayahnya seorang guru, mungkin lebih hebat lagi bila bermain sesandu (Dulu ejaannya sesandu tetapi di perantauan aku mendengar lidah Jawa menyebutnya Sasando). Daniel Pah, di masa kecilnya loncat kelas melulu. Sayang ia tak sempat kuliah untuk menjadi professor padahal matematikanya bagus, bahasa Inggrisnya dan ilmu-ilmu lainnya juga bagus. Setiap ujian ia pasti nomor satu. Aku bangga sekali padanya. Karena tak mampu kuliah maka ia hanya bisa menjadi guru dan kepala Sekolah Guru Atas Negeri sampai pensiunannya. Ketika di tahun 1997 aku mengunjungi Rote, banyak dari keluarga Manu yang putus sekolah. Oekahendak pun telah menjadi hutan. Kuburan keluarga pada hilang ditelan pohon gewang dan sebagainya. Saudara perempuan ayah Adrianus Mooy yang kawin dengan pamanku misalnya, kuburannya telah tercampur dengan kuburan yang lain yang tidak dikenal oleh generasi berikut. Yang masih utuh hanya kuburan nenekku, Maria Messakh karena berada dalam lingkaran pagar batu yang belum lenyap semuanya.

 Akan tetapi kenangan masa kecil tentang rumah itu masih segar dalam diriku. Kenangan fotografis masih jelas. Daun yang mengatapi rumah itu, balai-balai kayu, tangga kayu dan tiang-tiangnya masih jelas. Bahkan pohon kom yang dalam bahasa Rote disebut kole masih tergambar dalam kenangan fotografisku itu. Rumah paman (Papa To’o) itu disebut Kole Dale karena pohon kole (kom) yang berduri dan berbuah kecil seperti kelereng yang asam-asam manis itu menjadi petunjuk rumah keluarga ibu dalam cerpen-cerpenku, dalam novel-novelku, terutama novel Meredam Dendam.

 Ayah membawa aku kembali ke rumah itu. Aku ingat, Papa To’o membuat pesta menyambut ayahku. Ia mengambil senapan tumbuk (sundut) dan menembak seekor babi besar. Yang menarik adalah bola yang terbuat dari kantong air seni binatang ternak itu. Sambil memegang bongkah daging dan mengunyahnya, aku bermain bola.

 Tiba-tiba kami bersiap untuk pindah ke Ba’a. Aku ingat kami berjalan kaki telanjang sepanjang 25 km dengan beberapa wanita yang aku sudah lupa nama mereka. Tiba di Ba’a kami menumpang di sebuah rumah dekat jembatan Lelete Langgak, di pinggir jalan, di kaki bukit yang gundul. Di rumah itu, kakekku datang dari E’ahun, ibukota Kerajaan Ringgou. Kakakku Dina (Susi Di’a) adalah anak kesayangan kakekku Laurens Poyk. Di waktu aku masih bayi, terjadi zaman meleset (malaise) sehingga ayah diberhentikan sebagai mantri. Ia memboyong kami (ibu, Susi Di’a dan aku) ke Ringgou. Kakakku, Susi Di’a (Kak Dina) masih ingat, kalau ada pesta kakek selalu membawanya ke pesta itu dan disana daging berlimpah. Kakakku kenyang oleh pesta yang penuh dengan gading itu. Bertemu lagi dengan kakek di Ba’a Kakak Dina menggosok bintangnya dengan asam jawa sehingga mengkilat lalu digantungkan ke dadanya (jas tutupnya). Sebelum keluar menuju kantor kontrolir (bupati Belanda), adikku Mathilda (Nona) melompat lalu menusuk pipinya yang cekung karena ompong, sebelum kakek melangkah keluar.

 Menurut cerita Susi Di’a (Kak Dina) ia diminta oleh kemenakan ibu, Jusuf Manu, seorang guru, untuk tinggal dengan mereka. Kak Dina punya pengalaman pahit di rumah sepupunya itu hanya karena ia kurang awas menjaga seorang adik (putra Bang Jusuf) sehingga jatuh ke dalam sumur. Ia dimarahi habis-habisan. Sampai hari tuanya ia masih ingat akan nasib ketakutan melihat seorang anak jatuh ke sumur menerima amarah besar abang misannya Jusuf Manu.

 Ayah tidak punya pekerjaan tetapi ibu masih bisa masak kemudian memanggil aku keras-keras untuk makan nasi dan dendeng. Pada suatu hari kami pindah ke sebuah rumah di punggung bukit dan ayah meninggalkan kami. Ia berangkat ke Ringgou tanpa meninggalkan uang sepeser pun. Lalu Ibu mengajak kami berjalan, mendaki pundak bukit dan turun ke panatai pasir putih yang melengkung indah. Ketika itu air sedasng surut jauh sekali. Agak ke tengah, kelihatan beberapa orang sedang sibuk makan meting., berarti turun ke kawasan yang airnya surut itu untuk memungut makanan laut seperti kerang, gurita, ikan, kepiting dan sayur laut yang disebut latu dan sebagainya. Persis di pantai, pasirnya memang putih bersih tetapi lebih ke tengah banyak sekali batu kerangnya yang berselang-seling dengan pasir putih tetapi orang harus berhati-hati melangkah karena ada juga duri laut.

 Ketika aku berjalan di pasir pantai aku bertemu bersitan kerang-kerang kecil. Tinggal mengoreknya dari pasir lalu mengupasnya dan mengunyahnya mentah-mentah. Tampaknya sebidang pasir pantai itu lumbung kerang. Aku makan sekenyang-kenyangnya seperti manusia purba yang masih dalam peradaban pungut biji-bijian dan kerang-kerangan dan yang masih tinggal di gua-gua.

 Hari itu kami membawa beberapa keranjang kerang, sayur laut (agar-agar) dan sebagainya. Kerangnya cukup besar.Ada agar-agar yang harus direbus dulu dan ada yang enak dimakan mentah-mentah. Setelah kerang direbus bersama agar-agar, kami makan sekenyang-kenyangnya sambil minum air gula. Itulah cara makan orang Rote. Malam itu aku tidur. Bangun pagi-pagi leherku kaku, agak pegal kalau dimiringkan. Orang mengatakan aku salah tidur, padahal itulah rematik, kebanyakan asam urat yang datang dari makanan laut. Ibuku memang punya bakat rematik.

 Tiba-tiba ayah pulang dari Ringgou membawa seekor kerbau besar.Ada yang menemaninya tetapi aku lupa namanya. Kerbau itu segera dibawa ke rumah potong dan dengan demikian daging berkelimpahan. Uang pun banyak setelah daging terjual. Kami makan enak tiap hari. Beras baru, lauk daging yang dimasak dengan bumbu beserba. Ibuku memang pintar memasak karena ia pernah tinggal di rumah Pendeta Belanda, Pendeta (domine) de Vries di masa gadisnya.

 Seusai menjual daging kerbau itu ayah membangun sebuah gubuk di pinggir jalan dekat dengan gereja di Menggelama. Gubuk itu demikian kecilnya, demikian daruratnya. Yang penting tidak numpang-numpang. Atap dan dindingnya dari daun kelapa. Tempat duduk dari batu ceper. Sudah itu, pada suatu hari ayah membawa cangkul ke sebidang tanah di pinggir kali lalu membuat bedeng-bedeng untuk ditanami sayur sawi. Dia mengajak kami memungut tinja sapi dan kerbau yang sudah kering dan ditaruh di atas bedeng yang dibuatnya kemudian dibakarnya. Setelah disiram, ayah menebarkan bibit sawi lalu setiap sore ayah menyiramnya. Setelah selesai ayah mengajak kami mandi di sungai. Setiap hari aku berkeliling semak belukar danpadang rumput yang telah mengering di bukit untuk mencari tinja sapi dan kerbau yang sudah kering dan membawanya ke bedeng-bedeng sayur itu. Sambil mencari tinja sapi dan kerbau itu, aku mengambil pelepah kelapa dan lontar, lalu bermain meluncur (berselancar) dari pundak bukit ke bawah. Alangkah bahagianya.

 Di samping menanam sawi, ayah sibuk menulissurat lamaran kerja. Nanah putih pohon kekak dijadikan lemsurat .

 Aku jadi murid kelas satu dengan gurunya yang bernama Tuan Sereh, seorang lelaki berkaca mata. Dia perintahkan murid-murid untuk membuat lidi yang diikat gabung.Ada sepuluh lidi satu gabungan, adalima lidi. Ikatannya harus rapi dan ukurannya pun harus sama. Karena baru pindah dari Tudameda, aku tak mendengar perintah Tuan Sereh itu. Dengan kepanikan aku meminta-minta dari beberapa teman sehingga ukurannya berbeda. Dia mengomando. ”Anak-anak, atur semua lidi di atas meja!” Lalu ia memeriksa semua meja apakah lidinya rata, rapi atau tidak. Aku melihat lidiku panjang pendek, tinggi rendah. Kemduian aku mera takan yang paling atas dan di bawahnya aku tutup dengan mistar lalu kutekan. Ujung atasnya rata sekali. Beres, pikirku. Memang waktu ia memeriksa lidiku, ia memujiku. Bagus. Rata. Lalu dia memerintah. Angkah sepuluh lidi. Sepuluh lidi ditambahlima lidi, berapa? Aku menjawab. Bagus. Taruh kembali lidinya. Wah, lidinya panjang pendek. Ia mencubit pipiku tetapi tak bisa karena daging pipiku kumasukkan ke dalam. Tiba-tiba ia menempeleng aku. Plak. Itulah yang aku ingat ketika duduk di kelas satu. Sekali aku ditunjuk untuk berdiri di kelas lalu disuruh bercerita. Aku maju, berdiri lalu berceloteh entah tentang apa…

 Tiba-tiba ayah berlayar ke Kupang untuk mencari pekerjaan. Kami ditinggalkan, mungkin dengan uang hasil jualan daging kerbau yang diberikan kakek (Papa Be’a) di Ringgou. Waktu itu bulan Desember. Aku ingat betul karena pernah merayakanNatal ketika ayah tiada. Hadiah Natalku hanya sebuah buku tulis tipis karena setoranku juga kecil.

 Aku rindu pada ayah. Rasanya setengah tahun atau lebih kami bersama ayah di Ba’a. Bulan Agustus lalu ayah membawaku ke pasar malam. Ia melemparkan beberapa sen ke tikar dadu dan tiba-tiba dia menang. Setelah diraupnya uang kemenangannya ia meninggalkan tempat itu. Setan judi tentu jengkel, gondok, ketika aku mengunyah roti segar yang dibeli ayah. Cara ayah mempermainkan setan judi selalu kutiru.

 Oh, aku hampir lupa. Sebelum bersekolah ayah mengajak aku berjalan kaki ke kampung kelahiran ayah, Ringgou. Jaraknya 40 km. Jadi pulang balik 80 km. Jalan kaki dari Ti berjarak 25 km itu sudah bisa kulakukan. Bahkan adikku juga sudah begitu kuat berjalan kaki dari dusun ibu, Oekahendak ke Ba’a. Kami start dari Ba’a pagi hari. Mula-mula ayah membeli kue cucur di pasar Ba’a. Aku mengunyah-ngunyah kue itu sambil berjalan mengikuti ayah. Sudah banyak yang tak kuingat mengenai yang kulihat sepanjang perjalanan. Aku Cuma ingat bahwa sampai di Korbafo, aku lihat ada kolam dan mata air tempat orang mengambil air dan mandi. Kemudian berjalan terus, berjalan dan berjalan dan akhirnya sampailah kami di E’ahun. Menyeberang sebuah sungai kecil di depan rumah raja, sampailah kami ke rumah kakek yang berada di sebuah tempat bernama Roki.

 Kesan pertama dari rumah panggung itu adalah bau ikan kering. Di mana-mana tergantung ikan kering yang lebar-lebar. Aku segera membayangkan bahwa kakek beserta saudara-saudara ayahku makan ikan setiap hari. Rumah kakekku hampir sama dengan rumah keluarga ibuku di Oekahendak. Di Roki ada abang ayahku yang kami panggil Papa Ogus. Nama lengkapnya August Poyk. Istrinya dari keluarga (fam) Tokoh. Berikut adik ayahku, Papa Ose (Hosea Poyk) dan ada satu yang baru gede bernama Abraham (Papa Bang).

 Semua mereka pada waktu itu petani yang hidup dari mamar (kebun kelapa, nangka, mangga, pisang, pinang dan sebagainya), bersawah, berkebun dan beternak. Papa Ogus, yang tertua yang mengelola semua pusaka keluarga Poyk. Setelah perang dunia usai Papa Ose menjadi guru di Oekabiti (Timor). Bersama istrinya dari marga (fam) Funai, Papa Ose memiliki dua hektar lebih sawah irigasi. Ketika keduanya pindah ke tempat kerja baru sawah dua hektar lebih itu dititipkan kepada seorang kerabat dari Ringgou. Setelah Papa Ose meninggal, kerabat dari Ringgou itu, bersama dengan kepala desa membuat sertifikat atas nama kerabat dasri Ringgou itu. Ahli waris Papa Ose (anak-anaknya) gigit jari, walaupun orang tua-tua pemimpin informal di desa itu mengetahui betul bahwa sawah itu milik guru Hosea. Anak-anaknya adalah saksi hidup yang ikut bekerja menyiang dan memanen. Aku hanya berkata, ikhlaskan (lupakan) saja tetai kalau orang (kerabat) Ringgou itu ingin menjual sawah itu kita beli saja.

 Kembali ke masa kecil. Aku ingat, waktu kembali ke Ba’a aku digendong di bahu Papa Bang. Tanganku memegang dahinya. Namun aku tidak ingat apakah ia mengantar sampai ke Ba’a ataukah ia hanya mengantar kami sampai di sebuah dataran yang berumput pimping yang tinggi. Aku tak ingat lagi mengenai perjalanan dengan ayahku pulang ke Ba’a yang jaraknya menurut kata orang ketika itu, 40 km.

 Aku dilahirkan di sekitar masa krisis ekonomi dunia, seperti sudah kukatakan, zaman malaise (orang-orang menyebutnya zaman meleset). Ayahku diberhentikan dari pekerjaannya sebagai mantri di Ba’a sehingga ia dan ibuku, aku dan kakak perempuanku Dina pulang ke Ringgou dan disana ayah bertani, menanam tembakau untuk dijual. Kakak perempuanku Dina seperti sudah kuceritakan, masih ingat kebaikan kakek membawanya ke pesta-pesta untuk makan daging dan makanan yang enak-enak lainnya.

 Setelah keadaan membaik, ayah dipekerjakan lagi sebagai mantri di Pulau Bilba (Rote), Pulau Sewau dan Langgaliru (Sumba) kemudian dipindahkan ke Bajawa. Jadi ibuku dan kakak perempuanku pernah tinggal di Ringgou sedangkan abangku Min Kecil tetap tinggal di Ti. Ketika ayah dipindahkan ke Bajawa, hanya aku dan adikku yang dibawa kesana . Untunglah ayahku berhenti dari pekerjaannya sehingga kami bisa pulang ke Rote menemui saudara-saudaraku, walaupun di satu pihak, ayah tidak punya pekerjaan. Akan tetapi ayah sedang berusaha. Ketika ayahku berada di Kupang untuk mencari pekerjaan baru, aku ingat, seorang nenek dari Sabu yang tinggal di Ba’a datang ke gubuk kami di pinggir sajlan itu dan meramal dengan daun sirih. Ia menggenggam-genggam daun sirih di tangannya kemudian melemparkannya ke atas tikar. Daun sirih yang terlepas dari gengamannya terbuka, bergerak pelan-pelan dan diam. Lalu ia berkata, ”Bapak kalian sudah mendapat pekerjaan di Kupang,” katanya. Aku dan adikku bahagia sekali. Sudah tentu ibuku juga. Aku sudah lupa nama nenek asal Pulau Sabu itu. Menurut cerita nenek itu, ia pernah meninggal (berapa lama, aku tak ingat lagi) dan di surga ia melihat banyak sekali makanan yang dibuang sia-sia oleh manusia.

 Konon Amalodo, seorang lelaki Sabu, bisa masuk dalam botol. Bila dia dimasukkan ke penjara di Ba’a, dia bisa menghilang. Konon ia naik kelapa kering ke Kupang, muncul di penjara Kupang.

 Benar, ayahku mendapat pekerjaan di perusahaan Singer Sewing Machine, buatan Amerika. Aku berbahagia sekali, seperti juga ibu dan saudara-saudaraku karena segera meninggalkan pondok daun kelapa di pinggir Jalan Sirtu itu. Soalnya, pada suatu hari, ketika kapal KPM (yang berubah menjadi Pelni sekarang) berlabuh di Pelabuhan Ba’a, saudara sepupuku (anak pamanku) Nadus Manu, siswa Sekolah Teologia (STOVIL) di So’e, pulang berlibur ke Rote. Ketika bertemu dengan famili ibuku yang pernah memukul aku sampai menangis terkaing-kaing karena aku mengejeknya di saat ia cerewet melihat gubuk kami, saudara sepupuku Nadus Manu, bertanya tentang kami kepadanya. Aku lihat ia mencibir, berkata,”Hi, pondoknya kecil,” katanya. ”Tempat duduknya dari batu,” tambahnya.

 Nah, sekarang ayahku sudah mendapat kerja dan akan membangun rumah yang lebih baik, di suatu tempat entah di mana.

 Itulah kebahagiaan kami. Kebahagiaan lain ketika itu adalah lulusnya abang tertua (sulung) kami, Benyamin J. Messakh waktu menempuh tes masuk tentara. Kami bahagia karena itu. Ibu pun mengikhlaskan anak tertuanya masuk tentara. Kami mengantarkannya ke pelabuhan. Ia naik kapal, berlayar menuju Jawa dan akan masuk sekolah militer (KNIL) di Purworejo.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.