Nostalgia Flobamora II oleh Gerson Pyok

Nostalgia Flobamora II oleh Gerson Pyok

Tiba-tiba saja, kami bertiga, ibu, aku dan adikku Matilda telah berada di atas sebuah kapal yang berlayar dari Endeh menuju Rote dan Kupang. Aku ingat betul, di kapal kami makan nasi dan ikan asin goreng sepuas-puasnya. Sehabis makan, masih ada tersisa banyak ikan dan nasi. Ibu tidak membuangnya. Aku mengikuti ibu ke atas dek dan membawa nasi itu lalu dijemurnya. Itulah yang kuingat, bagaimana seorang ibu diterpa tekanan hidup, menjaga baik-baik nasi pemberian Tuhan. Seterusnya entah jadi apa nasi itu, aku tak ingat lagi. Aku hanya ingat bahwa kami turun di pelabuhan Ba’a dan menginap di rumah seorang sanak yang aku tak ingat siapa namanya.

 Tiba-tiba muncul abangku tertua, Benyamin J. Messakh. Dia datang dari desa Oetefu dengan kuda. Aku dibonceng ke rumahnya. Di tengah jalan aku melihat pohon kesambi sedang berbuah lebat. Abangku memetik beberapa buah dan menyorong kepadaku. Aku tak ingat apakah aku dibonceng di belakangnya atau didepannya. Tiba di Oetefu aku disambut oleh kakak perempuan nomor dua, Mariana dan langsung diberi makan dan mengunjungi beberapa sanak di rumah adat di belakang rumah utama. Beberapa tanteku menyambut aku dengan ciuman sedang yang satu lagi yang dipanggil Te’o Pokek (Tante Buta) meraba-raba aku mulai dari kaki sampai ke kepala. Kemudian aku dibawa ke rumah utama sebuah rumah panggung dan diberi uang logam beberapa keping lalu membiarkan aku tidur siang di sebuah ranjang berseprei putih dan berkelambu. Aku sendiri yang tidur di rumah itu. Kamar-kamarnya kosong.

 Ayah Usi Mariana mungkin saja tinggal di rumah istrinya di luar halaman istana mantan raja yang disebu Mba’adulek. Di halaman yang sekelilingnya berpagar batu itu ada tiga buah rumah. Sebuah rumah cukup besar menurut pandangan seorang anak, berlantai tanah putih.

 Begitu bangun sore, aku sendirian di rumah panggung itu. Kakak Usi, Susi Mariana entah di mana. Aku berdiri di beranda depan memandang pohon kelapa dan lontar. Bunyi burung tekukur dan udara panas sore hari membuat aku rindu pada ibu. Maka kerinduan itu membuat aku menangis sendiri, sambil memanggil-manggil, “mama… mama…” Mama tak menjawab, mama tidak muncul-muncul walaupun abang sulungku telah berkuda ke Ba’a yang jaraknya dua puluhlima kilometer.

 Tiba-tiba terpikir atau teringat, kata guru Sekolah Minggu, bahwa apa yang kita minta dari Tuhan maka Tuhan akan memenuhi permintaan kita. Aku pun menutup mata dan berdoa kepad Tuhan. “Tuhan, saya minta mama saya cepat datang. Saya kesepian. Tuhan, saya minta kalau saya membuka mata maka mama saya sudah ada di depan saya,” begitulah doaku. Sungguh lucu. Sia-sia. Naif. Begitu aku membuka mata ibu tiada.

 Akan tetapi aku sama sekali tidak mengomeli Tuhan. Aku bergerak entah ke mana, lupa, tidak teringat oleh khazanah kenangan masa kecilku. Terlalu banyak detik dan jam yang kulupakan. Aku hanya ingat, tiba-tiba saja ibuku dan adikku datang dibawa oleh abangku dan oleh Tuhan. Aku ingat, kami bertiga ditempatkan di rumah besar di samping kiri rumah utama di kamar depan yang berdinding setengah sehingga pandangan ke halaman tidak terhalang.

 Di malam hari dari balik kelambu aku melihat ada manea menjaga kami. Manea adalah petugas sukarela yang bergiliran menjaga di rumah raja. Selain menjaga siang malam, tugas serabutan dilakukannya. Ibu meninggalkan kami bermain di halaman.

 Kami diberi makan nasi dan daging penyu yang dibawa dari Pulau Ndana milik rakyat dan Raja Ti, pulau kosong manusia kecuali roh atau arwah rakyat Ndana yang dibunuh orang Ti, kambing liar, rusa dan burung serta penyu yang selalu datang ke pantainya untuk bertelur. Abangku hampir setiap hari berlatih pencak silat di salah satu kamar di rumah besar itu, rumah yang dikelilingi beberapa kulit lola raksasa yang konon diambil dari pantai dan laut selatan Rote.

 Tidak lama kemudian kami pindah ke Oekahendak, sebuah dusun kecil yang terdiri dari tiga buah rumah dan sebuah mata air kecil. Disana aku dan adikku bergabung dengan kedua kakak kami, Dina dan Min kecil yang tinggal bersama Papa To’o kami (saudara ibu) dan Te’o Fia kakak perempuan ibu yang tidak kawin.

 Seorang kakak perempuan ibu kawin dengan seorang dari keturunan raja Ridana, dari fam (marga) Nunuhitu. Salah satu anak perempuannya yang kami panggil Susi Be’i, kawin dengan Ali Bajiher dan beranak pinak di Ba’a. Hanya Papa To’o (paman) kami yang banyak punya anak sehingga dusun kecil itu tidak terlalu sepi karena memiliki laki-laki yang bisa menyadap lontar dan tati tine (memotong semak belukar di kebun berkarang) dan mengolah sawah yang airnya diperoleh dari Danau Tua dan dari sebuah mata air kecil di Oekahendak itu.

 Aku masih ingat wajah Papa To’o, pamanku. Kulitnya kuning seperti ibuku. Badannya kekar. Wajahnya ganteng seperti wajah Hemingway. Ia sangat eksentrik. Sangat eksentrik bagi penduduk sekitarnya karena ia suka memaki dengan bahasa jorok.

 Aku sayang betul pada Papa To’o pamanku. Ia suka tertawa keras memperlihatkan giginya yang bagus. Paling kurang senyumnya yang ramah. Pakaiannya celana pendek dan baju tangan pendek. Ia tidak memakai sepatu atau sandal. Aku ingat sekali pada Te’o Fia, tanteku yang tidak banyak bicara tetapi selalu sibuk, menumbuk padi, memberi makan ternak dan sibuk di sawah dan ladang.

 Kakak perempuanku membantu Te’o Fia mengambil air ke mata air. Abangku Benyamin (Min Kecil) tak pernah diam. Hampir tiap hari ia pulang membawa tekukur, burung pipit dan udang kecil. Aku sibuk membakar burung-burung itu untuk dimakan. Abangku Benyamin adalah tarsan kecil, spartan. Dia pelempar tepat.

 Jika mau makan daging tekukur yang merupakan wabah bagi tanaman padi dan kacang ijo. Min Kecil tinggal memungut batu dan melemparkan ke kerumunan tekukur itu. Lemparannya sangat kuat. Batu yang meluncur sampai berbunyi, mendesing membelah udara. Tekukur yang mati lebih dari satu ekor. Aku sangat gembira bila abangku membawa setumpuk tekukur. Dia lalu mencabut bulunya, membuang usus dan kotorannya dan mencucinya kemudian membubuhkan garam dan memanggang burung itu di halaman.

 Kalau tidak tekukur, dia membawa sekeranjang burung pipit yang paruhnya merah dan kuat. Aku mengunyah pipit panggang itu. Dagingnya, tulangnya, sampai ke kepalanya yang berisi otak. Enak sekali dimakan dengan nasi. Ketika musim hujan tiba, parit kecil yang berasal dari mata air itu meluap. Air dipakai untuk mengaliri sawah di sekitarnya.

 Yang menarik, udang-udang kecil banyak sekali padahal di musim kemarau parit itu kering. Rupanya Min Kecil menangguk udang-udang itu sampai keranjangnya penuh dan dibawanya pulang. Udang kecil itu direbus dan aku melahapnya. Ketika aku sedang melahap udang beserta nasi, abangku menggodaku.

 Dia mengatakan, udang-udang itu telah melahap cucian pakaian orang baru bersalin. Akan tetapi aku aku tidak peduli. Aku makan terus tanpa merasa jijik. Bukankah sudah dicuci.

 Setiap hari, sepulang sekolah ia menjadi manusia alam. Dia membuat jerat dari rambut ekor kuda. Aku melihat di ladang jerat-jerat itu berderet panjang sekali mengganggu tanaman padi, jagung dan kacang. Ia juga mengenal gua di sekitar kampung kami denganbaik. Biasanya, kalau kami ke sekolah, bekal kami sebuah lempeng gula lontar. Untuk memperkenalkan guanya ia menyuruh kami berjalan-jalan dan ia berlari ke gua itu lalu memukul-mukul stalagtit dan stalagmit sehingga kedengaran dari jauh bagaikan ia memukul gong. Kemudian sang penemu dan pemandu wisata kembali ke jalanan. Tiba-tiba ia menyuruh kami mundur ke belakang dan menunggu dia pergi sebentar karena ada perempuan putih sedang mandi. Ia ingin mengintip perempuan yang mandi itu. Maka Benyamin, anak Sekolah Rendah yang baru duduk di kelas tiga itu pun pergi. Tidak lama dia kembali dan menggeleng-geleng kepala.

 Tidak jadi intip, karena yang mandi itu Susi Di’a (panggilan akrab dari kakak perempuan kami Dina). Libido monyet abangku memang parah. Kalau ia melihat ada gadis-gadis lewat, untuk mencari perhatian gadis-gadis tanggung itu, ia memanjat ke pohon lontar kemudian bergantung kepala ke bawah seperti kalong. Semua orang kagum melihat ia bergantung mengaitkan kaki ke pelepah lontar lalu kepalanya digantungkan ke bawah. Pohon lontar itu cukup tinggi.

 Dia tidak takut pada ular berbisa. Pada suatu hari, kami, anak-anak yang lebih kecil darinya sedang mengerubungi dan menonton seekor ular ijo yang berbisa, melingkar di ketiak akar pohon kesambi sambil memagut-magut. Tiba-tiba abangku muncul. “Mundur, mundur, mundur,” katanya lalu meraup leher ular itu dan melenggang pergi.

 Ketika raja Thobias Messakh, ayah Kakak Dina dan Abang Min Kecil meninggal, ibu pulang ke Oekahendak, sedangkan abangku yang paling tua Min Besar dan Susi Miana (Kak Mariana), tetap tinggal di istana Mba’adulek, milik ayah mereka raja yang dibuang oleh Belanda ke Sumbawa dan Flores (karena ikut memimpin serangan dalam perang suku antara kerajaan Ti dan Dengka).

 Waktu ibu kawin dengan ayahku – seorang mantri rumah sakit di Ba’a, Kak Dina dan adinya seayah tinggal dengan papa To’o dan Te’o Fia. Ketika kami datang ke Oekahendak dari Bajawa, Abang Min Kecil telah duduk di kelas tiga, sebuah sekolah yang terletak tidak jauh dari dusun ibu, disebut Tudameda. Sekolah itu terbuat dari bebak (pelepah gebang) yang bercelah-celah mudah diintip dari luar dan dari dalam. Atapnya terdiri dari daun lontar. Tampaknya seperti kandang kambing, tetapi dari sekolah itu beberapa sarjana dan orang terkenalIndonesia lahir dan bekerja di luar pulau, terutama di Jawa, tak pulang-pulang membangun kampungnya.

 Ketika aku mengunjungi Rote di tahun 1997, lokasi sekolah itu sudah jadi kebun. Dulu di seberang Jalan Raya Sirtu, ada rumah Guru Pah, famili ibu, maestro senandu biola. Ana perempuannya yang paling tua menikah dengan abang tertuaku Benyamin. Adiknya Eduard Pah seorang guru, juga maestro sesandu biola. Ia mendapat Anugerah Seni dari pemerintah RepublikIndonesia dan profil tentang seniman ini dimuat di New York Times. Satu-satunya seniman musik Rote yang mendapat publisitas internasional lewat New York Times. Jarang juga senimanIndonesia dipublikasi lewat sebuah artikel yang dimuat di koran internasional itu. Dulu, yang disebut Tudameda hanyalah tiga bangunan yaitu rumah pamanku Guru Pah dan di seberangnya Sekolah Rakyat tiga tahun. Tidak jauh dari situ, di tepi jalan berpasir dan kerikil ada sebuah rumah pendeta yang dipagari batu dan didepannya ada sebuah kolam yang terjadi ketika batu dan pasir diambil untuk membuat jalan raya. Beberapa langkah dari sekolah ada sebuah jembatan kecil di atas sungai yang airnya datang dari Danau Tua. Selebihnyapadang savana yang menderu dan berdesing ketika angin datang dari gurunAustralia dan Samudra Hindia.

 Ibu, tampaknya tidak mau memberatkan saudara-saudaranya. Pada suatu malam yang gelap ibu membawa kami mengunjungi salah satu famili di Lalukoen, sebuah kampung yang lebih banyak rumahnya. Waktu akan pulang di malam hari dengan obor dari daun lontar, aku disuruh tinggal di rumah itu. Melihat rumah adat (rumah panggung) yang gelap di malam hari, hanya diterangi pelita yang terbuat dari biji kesambi yang ditumbuk yang dicampur dengan kapas atau kapuk lalu dililitkan ke lidi. Itulah pelita di malam hari. Sebagai anakkota yang terbiasa dengan lampu, aku merasa suasana di rumah adat famili ibu sangat mencekam. Barangkali famili ibuku senang sekali karena ibu menyerahkan aku kepadanya. Aku segera digendong oleh seorang Te’o (tante). Dengan cepat aku meronta-ronta, menangis sejadi-jadinya karena tak mau tinggal di rumah adat itu. Aneh. Padahal di rumah Papa To’o dan Mam To’o, rumah di mana ibuku dilahirkan oleh nenekku. Maria Messakh yang setiap hari kami sapa dengan istilah Mama Be’a juga gelap. Hari pertama kami datang dariFlores dan memasuki rumah itu, ibu menunjuk ke kolong rumah dan mengatakan, “Itu, kuburan Mama Be’a.” Aku ngeri juga kalau tidur malam-malam di bawah atap emperan lebar, di atas sebuah balai-balai induk (dalam bahasa Rote disebut langga inak) yang lebar dan panjang. Ngeri kalau bangun di tengah malam, memandang langsung ke kuburan nenekku tetapi karena mengantuk, aku tidur kembali. Lama-lama aku terbiasa dengan tidur bersama kuburan nenek. Soalnya aku tidur bersama abang.

 Biasanya, setiap malam anggota keluarga lelaki tidur di bale-bale induk yang membentang di kiri dan kanan rumah. Papannya lebar sekali, terbuat dari pohon utuh yang tebalnya sekitar tiga sentimeter. Karena umurnya sudah tua dan ditiduri oleh beberapa generasi maka tampaknya licin dan mengkilat. Anggota keluarga perempuan, tidur di atas di rumah panggung yang dipenuhi oleh bakul-bakul besar dan kecil yang terbuat dari anyaman daun lontar, biasanya berisi padi tiga lapis panen. Juga makanan lain seperti gula batu, kacang ijo, jelai, jewawut bijan, dan sebagainya.

 Sampai sekarang, aku berpikir, mungin usiaku sudah mencapai usia sekolah sehingga ibu mau menitipkan aku di rumah famili yang dekat dengan sekolah, sekaligus meringankan beban saudara-saudaranya yang telah menampung kakak perempuanku, kakak lelakiku dan adik perempuanku serta ibuku sendiri. Soalnya paman dan saudara ibu hanya hidup dari kebun dan sawah serta sejumlah pohon lontar dan binatang ternak. Biasanya mereka minum gula dan sayuran serta ikan serta daging sekadarnya, tidak biasa masak nasi setiap hari seperti orangkota . Setiap hari aku harus makan nasi, sayur, daging burung dan sebagainya. Aku tidak seperti kakak-kakakku dan ibuku. Barangkali karena itu. Sesungguhnya aku tak tahu pasti motif ibu ketika suatu malam, ibu membawaku ke rumah pendeta Hidalilo, pendeta yang berasal dari Pulau Sabu yang tinggal di Tudameda di rumah yang di depannya ada kolam berair kuning. Malam itu, lampu petromak terang benderang. Ibu membawa aku ke belakang dan aku bergabung dengan anak-anak pendeta. Aku senang sekali bermain dengan anak-anak itu di bawah benderang lampu tekan sehingga ketika ditanya apakah aku mau tinggal di rumah itu, aku mengangguk setuju. Malam itu aku mendapat sebuah tempat tidur box. Keempat sisinya berpagar sehingga kalau mau tidur aku harus memanjat pagar itu. Box itu berkelambu. Aku tertidur pulas karena terlalu lelah bermain sesiang suntuk. Di tengah malam, aku dibangunkan oleh keharusan untuk kencing. Aku menangis karena kantong air seniku terlalu penuh. Ibu Pendeta yang sekamar dengan kami terbangun sedangkan Bapak Pendeta tetap ngorok. Begitu pula anak-anak di ranjang yang besar. Semuanya berada di satu kamar. Ibu Pendeta bertanya, ”Kenapa, Be’a?” sambil merintih aku berkata, ”Mau kencing, Tante.” Lalu Ibu Pendeta menyuruh kencing di pojok kamar. Tampaknya dinding kamar itu tidak sampai ke lantai tanah.Ada celah di mana angin bisa keluar masuk.

 Malam itu seingatku; ibu tidak membawa tas pakaian. Ibu melepaskan aku dengan pakaian di badan. Seingatku tidak ada acara makan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Aku masih ingat pada suatu malam Ibu Pendeta membagi-bagikan biskuit. Juga masih segar dalam ingatan Ibu Pendeta membawa kami untuk mandi di sungai. Aku masih ingat pula pada suatu malam, ketika Mama Nyora Hidalilo (istri pendeta dan guru dipanggil nyora) membagi-bagi nasi dan lauk, kepada tiap anak ia bertanya mau tambah atau tidak. Anak-anak pendeta mengatakan tidak sedangkan aku mau tambah. Aku lihat nasiku hanya setengah dari nasi anak-anak yang tak mau tambah. Kami hanya makan sekali, makan malam. Tampaknya gaji pendeta itu kecil sedangkan kami hampir sepuluh orang di rumah itu.

 Biasanya bila seorang anak angkatnya yang duduk di kelas tiga bernama Karaba mengupas kelapa, aku duduk di depannya dan memungut daging kelapa yang terkikis parang. Enaknya bukan main! Kemudian aku ke kebun jewawut, jelai dan jagungnya yang baru dipanen.Ada melon-melon, kecil yang sudah matang di celah daunan jagung dan jelai yang sudah kering. Buah kacang turis muda pun sedang bergantungan di pohon. Aku sering berpesta melon liar yang kecil dan kacang turis muda.

 Aku ingat, sekali ketika berlangsung kebaktian hari Minggu yang dilakukan di sekolah desa tiga tahun yang bentuknya seperti kandang kambing itu, serombongan gadis-gadis kelompok koor, memakai kebaya putih dan sarung hitam dan mantan Raja Ti, (ayah abangku Min Besar dan kakak perempuanku Mariana) duduk sendirian di sebuah kursi di dekat mimbar dan mendongakkan kepalanya memandang pendeta yang sedang berkhotbah.

 Waktu itu tidak ada liturgi berdiri segala. Sepanjang kebaktian, umat duduk terus dan aku menguap terus.Karaba adalah tokoh unik dalam kenangan masa kecilku. Walaupun aku duduk jongkok di depannya sambil memungut dan mengunyah tempiasan kikisan daging kelapa dari parangnya, ia tidak pernah memarahiku. Padahal ia seorang pemarah. Aku pernah melihat ia marah ketika menghidupkan api dengan ranting-ranting kayu. Dikipas-kipasnya api itu tetapi tidak juga menyala. Tidak lama kemudian ia mengamuk kepada api dan ranting-ranting itu. Dengan tangan kanannya ia mengobrak-abrik api dengan ranting-rantingnya segala sehingga api ‘ketakutan’ dan mengecil. Kemudian dia menata kembali. Api ‘ketakutan’ lagi lalu menyala (sic!). Amarah yang sangat meluap kepadaku adalah pada suatu hari ketika aku bermain-main sendiri di halaman sekolah. Biasanya anak kelas satu pulang lebih dulu.

 Tinggal anak kelas dua dan tiga. Mungkin karena kekurangan guru. Aku bermain sendiri, berputar-putar keliling sekolah sambil nguping apa yang diajarkan guru kepada kelas yang lebih tinggi. Tiba-tiba aku jadi usil. Aku menunduk memungut sebuah lidi dan menusuk-nusukkan ke dalam lewat celah dinding bebak (pelepah gewang). Tiba-tiba terasa pantat anak yang duduk paling belakang tertusuk. Aku rasakan itu. Tiba-tiba anak yang tertusuk itu muncul di pojok luar sekolah dan yang muncul itu adalah Karaba! Aku melompat lari langkah seribu dan ia memungut batu, melempari aku. Sambil tertawa terkekeh-kekeh aku melompat menghindari batu yang mengejarku. Entah siapa yang menyuruh aku usil begitu, membuat aku begitu ‘kreatif’ menciptakan suasana kekanakan yang menyenangkan.Ke mana pun aku mengembara di kota-kota dunia, aku selalu ingat kolamku, kolam kemarau kuning di pinggir Jalan Raya Pasir Batu (Sirtu) itu.

 Tiba-tiba aku sibuk membuat perahu kecil sekaligus layarnya. Angin dari gurunAustralia menyapu laut dan mendesingkan sabana. Asyik sekali melihat layar perahuku di tiup angin dan melaju kencang dari tepi yang satu ke tepi yang lain dari kolam itu. Rasanya aku telah menjadi insinyur perkapalan yang memperhitungkan dengan tepat ketika membuat perahu itu, sekaligus layarnya yang berbentuk segi tiga dengan tali temalinya. Setelah puas bermain dengan perahuku, aku membuka pakaianku, sebuah baju monyet lalu menceburkan diri ke kolam kemarau kuning itu.

 Suatu hari ketika pulang berenang dan bermain-main dengan perahuku aku jongkok lagi di depan Karaba yang sedang mengupas kelapa tua. Seperti biasa, ia tidak marah padaku. Perbuatan menusuk pantatnya telah dilupakannya. Ia membiarkan aku memungut-mungut kikisan kelapa yang terlempar di tanah lalu memasukkan ke mulutku. Ia hanya menggerutu menyalahkan seorang temannya, juga anak angkat pendeta yang diboyong dari Sabu. ”Bapa Pendeta sudah mengutuk siNara karena ia menulis-nulisi Kitab Suci,” kata Karaba. Sejak itu aku takut sekali dikutuk oleh Bapa Pendeta, terutama takut dimarahi Tuhan kalau salah memegang atau menyia-nyiakan Kitab Suci. Sampai aku bersekolah di Sekolah Standar, kalau aku melihat lembaran Kitab Suci yang tersobek dan terbuang, aku memungutnya dan menyimpannya baik-baik. Aku selalu mengingat anak itu. Si Karaba itu. Bahkan nama anak-anak pendeta sudah kulupakan, padahal pernah bertemu di So’e ketika aku duduk di Sekolah Guru Bawah (SGB) (dulu Normalschool) dan dia belajar di Sekolah Teologia. Ketika aku duduk di Sekolah Standar di ruteng aku dengar Karaba masuk Heiho, kemudian ketika perang dunia usai aku bertemu dia di jalan di Kupang. Badannya tambah hitam dan kurus, tinggi. Aku menegurnya dan dia membalas teguranku sambil berjalan terapung-apung, lurus, dagu terangkat. Aku memandang punggungnya ketika ia menjauh, sambil menarik napas dan desah nostalgia.Tiba-tiba, pada suatu hari ketika aku berjalan menunduk menuju kolam kemarau kuning kesayanganku, ada sesosok tubuh di depanku. ”Papa!” seruku bahagia. Aku disuruh berdiri menunggu di jalan dan ayahku masuk ke dalam untuk memberitahukan bahwa aku diambil kembali. Tidak lama kemudian ayah keluar dan kami berjalan meninggalkan rumah pendeta itu tanpa tas pakaian, kecuali baju monyet di badan. Walaupun aku sendiri tidak bertemu dengan pendeta dan istrinya untuk mengucapkan terima kasih, walaupun tidak ada acara perpisahan, aku masih ingat jasa keluarga pendeta itu memberi tumpangan, tempat tidur dan makanan untuk beberapa lamanya.Kepada orang-orang yang ditemuinya di Oekahendak, ayah menceritakan kesedihannya melihat anaknya yang sudah hitam tak terurus dan pakaiannya yang cuma satu melekat di badan, tidak pernah dicuci.

 Di Oekahendak, kepada ibu, ayah menceritakan bagaimana dia mendapat ongkos untuk membeli tiket kapal. Ia menjual pondoknya di Endeh dan barang-barang lain seperti piring mangkuk, setrika dan sebagainya. Rupanya usaha ayah sebagai pengacara amatiran di Endeh macet. Untung, naluri kebapakannya menggerakkan dia mencari anak-anaknya yang terombang ambing di bawah kepak ibu yang kurang berdaya. Pengalaman seorang anak sepertiku sangat menyedihkan, mengharukan dan semuanya menjadi sumber kepekaan, sumber inspirasi ketika aku menjadi dewasa. Tidak dapat disangkal pengalaman menjadi bahanbaku untuk kesusasteraanku, untuk karya-karyaku, baik berupa prosa maupun puisi dan lain-lain. Aku memasuki kesusasteraanIndonesia melalui puisi. Sajak-sajak pertamaku dimuat di koran dan majalah Surabaya kemudian Mimbar Indonesia, Jakarta yang ditulis tahun 1955 ketika aku duduk di bangku Sekolah Guru Atas Kristen di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya, dan ketika mengikuti International Writing Program, sebuah program creative writing di bawah bimbingan Prof. Paul Engle, Ph.D (penyair) di Iowa University, Iowa City, Amerika Serikat.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.